Liputan Surabaya – Surabaya, Menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, pertanyaan tajam kembali menyeruak: kemana hasil kekayaan alam bangsa ini? Dari emas Freeport, hutan tropis yang luas, hingga cadangan migas melimpah, nyaris seluruhnya hanya dinikmati segelintir orang.
Sementara pemerintah mengklaim angka kemiskinan dan pengangguran menurun, realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan yang semakin dalam. Kemakmuran justru menjauh dari rakyat, menyisakan ironi di tengah melimpahnya sumber daya alam.
Tata kelola pemerintahan yang buruk menjadi sorotan utama. Alih-alih menghadirkan kesejahteraan, kebijakan negara sering kali justru menguntungkan birokrat, politisi, dan elite kekuasaan. APBN yang seharusnya menciptakan lapangan kerja dan menyejahterakan rakyat, lebih banyak dialokasikan untuk kepentingan pejabat.
Reformasi yang telah berjalan 27 tahun pun tak mampu menjawab persoalan. Demokrasi yang diagungkan hanya berubah menjadi alat perebutan kekuasaan. Semboyan โdari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyatโ seakan bergeser menjadi โdari rakyat, oleh rakyat, untuk pejabatโ.
Ketimpangan sosial kian tajam: yang kaya semakin kaya, sementara rakyat miskin semakin terpinggirkan. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme subur di lingkaran kekuasaan, melahirkan pemimpin yang jauh dari amanah dan cita-cita para pendiri bangsa.
Di usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada refleksi besar. Apakah demokrasi yang dipuji dunia telah melahirkan kepemimpinan yang jujur dan bertanggung jawab? Apakah kekayaan alam benar-benar digunakan untuk kemakmuran rakyat atau sekadar memperkaya segelintir elite?
Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Pertanyaan besar masih menggantung: kapan kemerdekaan benar-benar menghadirkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat?
Pewarta : Musthofa