🄻🄸🄿🅄🅃🄰🄽 🅂🅄🅁🄰🄱🄰🅈🄰 Neͤws͛ – Mojokerto, Harapan itu belum mati. Setelah enam tahun terombang-ambing, para petani Desa Sumber Girang, Kecamatan Puri, Kabupaten Mojokerto, kembali mengetuk pintu hukum. Mereka menuntut keadilan atas tanah yang telah mereka lepaskan sejak 2019, namun hingga kini tak sepenuhnya dibayar.
Merujuk pada LI/552/XI/RES/1.11./2024/SATRESKRIM, Unit Tindak Pidana Umum (Tipidum) Satreskrim Polres Mojokerto akhirnya menindaklanjuti laporan para petani. Pada Jumat (3/10/2025), SPKT Polres Mojokerto menerbitkan Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) dengan nomor LP/B/143/X/2025/SPKT/POLRES MOJOKERTO/POLDA JAWA TIMUR.
Bagi para petani, secarik kertas laporan itu bukan sekadar formalitas. Ia adalah simbol perjuangan panjang yang sempat redup, kemudian menyala lagi.
Awal Mula: Kepercayaan yang Berbuah Luka
Akhir tahun 2019, puluhan petani di Desa Sumber Girang dipertemukan dengan seorang yang mengaku pembeli tanah asal Surabaya. Nilai transaksi mencapai Rp600 juta. Karena proses ini difasilitasi oleh perangkat desa sendiri, para petani nyaris tak menaruh curiga.
Dalam dokumen Akta Jual Beli (AJB), tercatat nama Siswayudi (Kepala Desa Sumber Girang) sebagai saksi. Panitia yang dibentuk juga diisi perangkat desa, di antaranya Samsol Arif (Kasun Sumberejo), Ainun Ridho (Kasun Sumber Tempur), dan Soponyono (mantan Sekdes Sumber Girang, kini pejabat di BPBD Kabupaten Mojokerto).
Namun, kenyataan pahit segera terungkap. Dari kesepakatan Rp600 juta, sebagian besar petani hanya menerima Rp200 juta hingga Rp250 juta. Sisanya tak pernah cair.
“Awalnya kami percaya penuh. Siapa yang tidak percaya kalau panitianya perangkat desa sendiri, bahkan Kades ikut menandatangani AJB? Tapi ternyata sampai sekarang janji tinggal janji,” tutur salah satu petani sambil menahan getir.
Rasa Takut dan Intimidasi
Sejak itu, suara petani seakan terbungkam. Dari 16 orang yang terdampak, hanya dua orang yang berani melangkah ke jalur hukum. Yang lain memilih diam. Bukan tanpa alasan: ada rasa takut, ada rasa jenuh, ada pula dugaan intimidasi dari pihak-pihak tertentu.
“Banyak yang pasrah. Ada yang bilang ‘percuma, wong dari dulu dilaporin nggak jalan’. Ada juga yang merasa takut karena katanya kalau melawan bisa kena masalah,” ungkap sumber warga desa yang enggan disebut namanya.
Fenomena ini memperlihatkan wajah lain praktik mafia tanah: bukan hanya soal uang, tapi juga bagaimana korban dibuat tidak berdaya lewat tekanan dan ketidakpastian hukum.
Laporan Resmi: Pintu Harapan Dibuka Kembali
Kini, nama keempat perangkat desa tersebut resmi masuk dalam laporan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan, dengan dasar Pasal 378 dan 372 KUHP.
Proses ini menjadi titik balik. Para petani berharap penyidik Tipidum Polres Mojokerto benar-benar menggali fakta, bukan sekadar menerima laporan.
“Kalau terbukti mereka berbuat curang, kami ingin hukum benar-benar ditegakkan. Jangan hanya janji. Kami hanya ingin hak kami kembali,” ujar perwakilan petani dengan tegas.
Potret Mafia Tanah Desa: Modus Lama, Korban Baru
Kasus Sumber Girang bukan yang pertama. Di banyak daerah, modus mafia tanah sering melibatkan oknum aparat desa. Skemanya mirip: tanah warga dikumpulkan, dijanjikan harga tinggi, lalu dijual ke pihak luar dengan melibatkan perangkat desa sebagai saksi atau penghubung.
Namun dalam praktiknya, sebagian uang ditahan, pembayaran diperlambat, bahkan ada yang tak kunjung diterima.
Kepercayaan warga desa terhadap perangkatnya dijadikan senjata. Mafia tanah bukan hanya mencuri hak, tapi juga merusak ikatan sosial antara rakyat dan pemimpinnya.
Harapan Para Petani: Keadilan, Bukan Sekadar Janji
Enam tahun menunggu bukanlah waktu yang sebentar. Banyak petani yang terpaksa berhutang, menjual sawah lain, atau bekerja serabutan karena uang hasil penjualan tanah mereka tak pernah utuh diterima.
“Kami hanya ingin keadilan. Kalau memang uang itu hak kami, ya kembalikan. Jangan sampai kami yang kecil ini terus jadi korban permainan orang kuat,” kata seorang petani yang kini sudah lanjut usia.
Penutup: Ujian bagi Penegak Hukum
Kasus ini kini menjadi ujian serius bagi Polres Mojokerto. Apakah laporan ini akan benar-benar dibawa ke meja hijau, atau kembali tenggelam di antara tumpukan perkara lain?
Di satu sisi, para petani menaruh harapan besar pada aparat kepolisian. Di sisi lain, publik menunggu apakah kasus ini akan menambah panjang daftar “janji kosong” penegakan hukum terhadap praktik mafia tanah.
Yang jelas, bagi para petani Desa Sumber Girang, perjuangan ini bukan semata soal uang. Ini tentang harga diri, hak yang dirampas, dan kepercayaan yang dikhianati. (Tp)